REVIEW Novel "Dilan 2" dia adalah dilanku tahun 1992
bhahaha...
Dijamin ngakak dicampur sedih baca Novel Dilan 2 Piddi Baiq, karya papa Piddi Baiq tuh ngga usah diragukan lagi deh. pas baca yang satu rasanya gegana nunggu yang kedua giliran yang kedua mereka putus dan greget banget sama Dilan yang gampang banget ganti pacar rasanya tuh pengen njerit kenapa harus putus. dan diem-diem gue ngarepin banget Dilan 1 atau Dilan 2 daru sudut pandang Dilan. pengen tau apa si yang ada di otaknya sampe-sampe ninggalin Milea demi geng motornya.
"Jika aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang sudah cukup lengkap."
-Milea
"Senakal-nakalnya anak geng motor, Lia, mereka shalat pada waktu ujian praktek Agama."
-Dilan
.....
I honestly have mixed feelings about this book.
Para fans Dilan pasti tau kalau buku “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun
1991” ini merupakan sekuel dari “Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun
1990”—yang pernah saya tulis review-nya di sini.
Cerita dari buku kedua ini dimulai pas dari ending buku pertama, yaitu
ketika Milea resmi berpacaran dengan Dilan. Tidak cukup hanya secara
lisan, mereka juga menyatakannya di atas kertas bermaterai. Untuk
dokumen perasaan, kata Dilan. Nah, setelah “peresmian” hubungan mereka
di warung Bi Eem, Dilan pun mengantar Milea pulang menggunakan sepeda
motornya. Adegan boncengan naik motor berdua ini, yang tentu aja terjadi
nggak hanya sekali, menjadi salah satu hal favorit saya dari buku kedua
ini, karena percakapan absurd nan manis khas Dilan-Milea seringnya
terjadi di atas motor!
"'Aku bisa menyihir kamu jadi tambah erat meluknya,' katanya.
'Gak usah disuruuuh…,' kataku berseru bagai bisa menembus suara hujan.
'Kenapa?' tanya Dilan.
'Bisa sendiriiiiii!!!'"
HAHAHAHAH sumpah ya, adegan-adegan macam begitu tuh yang suka bikin saya
nyeletuk, “Sa ae lu, Dilan.” :)) Tapi, tentu aja hubungan Dilan dan
Milea nggak selamanya manis begitu. Kang Adi, guru les privat Milea di
buku pertama, masih saja berusaha untuk PDKT dengan Milea. Belum lagi
ada tokoh baru bernama Yugo, saudara jauh Milea, yang ternyata juga
menyukai gadis itu. Well, sejujurnya saya kurang bisa membayangkan
cantiknya Milea itu seperti apa, tapi kayaknya cantik buanget, kok
sampai seorang calon guru magang di sekolahnya pun ikutan naksir. Namun,
masalah terbesar yang muncul dalam hubungan Dilan dan Milea bukan
berasal dari fans Milea—justru Dilan lah sumbernya! Masih ingat, kan,
kalau Dilan itu ikutan geng motor? Berulang kali Milea menegur Dilan
bahwa ia nggak suka kalau Dilan bergabung dengan geng motor, karena
Dilan jadi doyan berantem dan ujung-ujungnya membuat Milea khawatir.
Awalnya, jujur aja saya menganggap sepele masalah ini karena saya pikir,
“Ah, pasti ntar Dilan juga nurut. Dilan kan sayang banget sama Milea.”
LAH KOK MALAH NGGAK SELESAI-SELESAI WTF?! Yang jelas, masalah Dilan dan
geng motor ini berpengaruh banget ke ending bukunya
yang—sumpah!—bikin sedih banget. Padahal saya udah kena spoiler
endingnya bahkan sebelum beli bukunya, tapi tetep aja ngerasa nyesek pas
selesai baca. Kalau buku pertama bikin perasaan saya berbunga-bunga,
buku kedua ini sukses bikin saya patah hati. Siap-siap aja.
Sama seperti buku pertama, buku kedua ini juga ditulis dari sudut
pandang Milea. Jadi sebetulnya seluruh kisahnya dengan Dilan di tahun
1990 dan 1991 merupakan flashback, sedangkan Milea masa kini
berada di tahun 2015. Pada bagian awal buku kedua ini, Milea juga
sedikit menceritakan kembali kisahnya dengan Dilan di buku pertama,
kayak semacam perkenalan singkat. Di satu sisi, hal tersebut dapat
membantu mereka yang nggak membaca buku pertama untuk bisa tetap
nyambung dan menikmati kisah Dilan dan Milea di buku kedua ini. Di sisi
lain, para pembaca yang mengikuti dari buku pertama bisa saja bosan dan
merasa bahwa hal tersebut malah bersifat repetitif. Kalau saya sendiri
sih nggak merasa terganggu, justru senang karena bisa sedikit nostalgia
dengan zaman PDKT Dilan dan Milea. EHEHEHEHE.
YA GIMANA KAN, justru cara PDKT-nya Dilan di buku pertama itu yang bikin
saya jatuh cinta banget sama dia. Bener-bener yang jatuh cinta head
over heels karena bagi saya Dilan itu karismatik. Sayangnya, di buku
kedua ini, karisma itu seolah hilang. Nggak hilang, sih, tapi agak
mengabur. Mungkin karena frekuensi kemunculan si Dilan nggak sebanyak di
buku pertama, selain karena karakternya yang memang menurut saya jadi
melemah justru ketika konfliknya lebih berkembang. Tapi, tenang aja,
Dilan masih unik, kok, masih doyan ngegombalin Milea, pemikirannya masih
nyeleneh tapi masuk akal, masih suka bicara hal-hal absurd, masih
sesekali nulis puisi. Saya suka juga dengan hubungan Dilan dan Bunda
yang kayaknya asik banget.
"'Dia itu diam, bukan karena baik.'
‘Karena apa?’
'Karena, gak berani. Karena, takut. Gak siap dimarahin.'
Aku diam.
'Harusnya, dia juga dimarah karena penakut. Dunia butuh orang pemberani. Yes?'
Aku diam.
'Kamu pikir bandel itu gampang? Susah. Harus tanggung jawab sama yang dia udah perbuat,' kata Dilan lagi."
"'Gimana, ya?' Dilan bagai mikir.
'Dulu, waktu kecil,' Dilan mengenang. 'Aku nyuruh Disa ngambil tas di
kamar. Terus, si Bunda bilang, jangan nyuruh-nyuruh, katanya, kerjain
sendiri.'
'Itu, sih, negur, bukan marah.'
'Iya. Nah, waktu si Bunda nyuruh aku shalat, aku jawab aja: Bunda, jangan nyuruh-nyuruh! Kerjain sendiri.'"
HAHAHAHAH kampret emang si Dilan. Tapi saya suka dengan Bunda yang juga
dekat dengan Milea, bikin pengin punya mertua kayak Bunda yang
pengertian banget. Sayangnya, karakter Milea seolah-olah "mengikuti"
melemahnya karakter Dilan. Tentu aja ia masih cantik dan pintar, tapi
ada saat-saat di mana saya mengerutkan kening dan berpikir, "Kok Milea
gini, sih?" Saya ngerasa dia jadi lebih.... drama. Ada beberapa sikapnya
terhadap kejadian-kejadian tertentu yang menurut saya terlalu
berlebihan. Kayak pas Yugo dan Ibunya datang ke rumah Milea untuk
meminta maaf atas tindakan buruk yang dilakukan Yugo terhadap Milea.
Lalu tiba-tiba Dilan datang dan Milea langsung aja menggaet Dilan ke
tengah-tengah ruang tamu, yang saat itu di sana juga ada Ayah dan Ibu
Milea. Nggak hanya memperkenalkan Dilan, Milea juga dengan lantang
bilang bahwa Dilan adalah pelindungnya, bahwa Dilan membela dirinya
hingga terluka. Ya, saya tau kamu bangga dengan Dilan, Milea, tapi nggak
usah segitunya juga. Yang jelas saya ngerasa bahwa Milea jadi lebih
emosional di buku kedua ini.
Mengenai ending, sejak selesai baca buku pertama dan tau bahwa
kisah Dilan memiliki sekuel, sejujurnya saya udah menduga bahwa akhir
cerita Dilan dan Milea bakal seperti itu. Setelah itu saya juga kena
spoiler di Twitter—yang ternyata bener sesuai dugaan saya. TAPI YA TETEP
NGGAK TERIMA DAN SEDIH BANGET AJA GITU PAS SELESAI BACA. Saya beli buku
kedua ini tanggal 9 Juli lalu, bareng temen saya yang dulu juga baca
buku pertamanya. Malemnya, saya ngebut baca karena nggak sabar banget
pengin tau lanjutan cerita Dilan dan Milea. Besoknya, pas akhirnya
selesai baca, saya mewek sendirian karena teman saya masih separuh jalan
bacanya. Begitu dia selesai, dia langsung kirim chat ke saya, marah-marah pake capslock, katanya nggak bisa move on. I think it was her first ever book hangover she's ever experienced. :)) Saya
sendiri bahkan belum sanggup mau baca buku yang lain, masih
kebayang-bayang Dilan dan Milea—terutama Dilan. Mungkin setelah ini saya
mau baca ulang buku Dilan yang pertama, mau menetralisir perasaan biar
nggak terlalu patah hati.
P.S: Denger-denger Pidi Baiq mau menulis kisah Dilan dan Milea dari sudut pandang Dilan. SEMOGA ITU BENER, YA! Aamiin? Aamiin!
panjang sekali!! asli ya?
BalasHapus