REVIEW Nvel "Dilan 1" Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 karya Piddi Baiq
1. AKU
Aku cuma mau cerita kesan waktu baca novel
Dilan 1. dalam hati aku tuh bercuap cuap "Ya Tuhan Andai aku Milea" pasti seneng banget ya jadi dia. punya pacar unik dan limited edition hahaha.
oya guys, mungkin kalian udah tau atau belum. dari Twitter tuh aku baca kalau novel ini tuh menceritakan masa lalunya Papah
Piddi Baiq. tap aku juga ngga tau pasti si statement itu bener atau ngga. wajib baca guys. Papah Piddi Baiq i really loved you and your ceation Lets Join us ({})<3
1
Namaku Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai makan jeruk.
Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku kagumi,
dan dia adalah prajurit TNI Angkatan Darat. Dia lahir di Batusangkar,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.
Ibuku, namanya Marissa Kusumarini. Oleh teman-temannya biasa dipanggil
Icha. Dia mojang Bandung yang lahir di Buah Batu. Sebelum dinikah dan
lalu diboyong ke Jakarta oleh ayahku, ibuku adalah seorang vocalist band
yang lumayan dikenal di masyarakat musik Bandung pada masanya.
Ibuku, meski waktu itu masih remaja, tapi sudah bermain musik sama
orang-orang yang sudah tua dan keren, seperti Uwak Gito Rollies, Kang
Deddy Stanza. Juga dengan Kang Harry Rusli, yang waktu itu bikin
kelompok musik Gang of Harry Roesli. Dan kata ibu, mereka semua adalah
gurunya.
Menurutku, ibu punya suara yang bagus. Sepanjang waktu selalu siap untuk
nyanyi atau bersenandung di mana saja, terutama di kamar mandi dan di
dapur ketika masak. Dia juga suka bermain gitar sambil nyanyi di ruang
tamu dan menyebut nama Bee Gees ketika kutanya lagu
siapa itu?
“Ini judulnya 'I Started A Joke',” jawab ibu.
“Bagus! Aku suka.”
Oleh dirinya, musik benar-benar menjadi bagian dari keluarga. Dan ayah mendukungnya dengan kekuatan militer.
Aku merasa bersemangat tentang hal ini. Dia menyambut anak-anaknya
kepada pengalaman seninya. Membantuku untuk melihat banyak hal dalam
lebih dari satu sudut pandang. Menjadi terbuka untuk semua ekspresi. Ini
menjadi hal penting untuk kau bisa memahami kepribadianku.
2
Sejak kecil, aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi.
Tahun 1990, ayahku dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik
bungsuku, pembantuku, dan semua barang-barang di rumah pun jadi pada
ikut pindah.
Rumahku, yang di Buah Batu, tepatnya di Jalan Banteng, adalah milik
Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku. Tapi, kakekku sudah
meninggal pada bulan Mei tahun 1989.
Kabar bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan
meminta kami untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990,
kira-kira sebulan sebelum kami pindah, nenekku wafat.
Rumah nenek yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku
sepenuhnya, karena ibuku anak tunggal. Ada halaman di depannya, meskipun
ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai bunga dan satu
pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah mulai
banyak ulatnya.
3
Aku juga pindah sekolah ke SMA Negeri yang ada di daerah Buah Batu, Bandung.
Bagiku, itu adalah sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau
enggak, minimal se-Asia, lah. Bangunannya sudah tua, tapi masih bagus
karena keurus.
Di halaman depan sekolah, ada tumbuh pohon besar. Cabangnya banyak dan
bagus kalau dilihat senja hari, dan siang kalau mendung, juga pagi kalau
mau. Sebagian orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut,
kecuali kalau harus tidur sendirian di situ malam hari.
Tahun 2001, waktu aku datang untuk reuni, aku sudah tidak melihat ada pohon itu lagi di sekolah. Entah kapan ditebangnya.
Dulu, jalan yang ada di depan sekolahku, cuma jalan biasa. Lebarnya
kira-kira tiga meter dan belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk
angkot. Sehingga untuk bisa nyampe di sekolah, aku harus mau berjalan
sepanjang kira-kira 300 meter, yaitu setelah aku turun dari angkot di
daerah
pertigaan jalan itu.
Sekarang jalan itu sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati
oleh banyak kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa
orang saja yang pake. Sebagian besar bepergian dengan angkot atau bemo.
Rasanya, waktu itu, Bandungnya masih sepi, masih belum banyak orang.
Tiap pagi masih suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti
menyuruh orang untuk memakai sweater atau jaket kalau punya. Dan kalau
cuaca sangat dingin, akan keluar uap dari mulutmu, yaitu ketika kau
bicara.
Bagiku, selain bagus dan romantis, sekolah itu adalah tempat khusus yang
menyimpan kenangan masa laluku ketika masih remaja, terutama menyangkut
seseorang yang pernah bersamaku, yang
pernah selalu mengisi hari-hariku.
Itu adalah kenangan yang paling susah kulupakan, bahkan ketika aku
ingin. Dan malam ini akan aku ceritakan kisahnya, bersama rindu yang tak
bisa kuelakkan
4
Kisah itu akan aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi waktu
itu, meskipun tidak akan mungkin detail, tetapi itulah intinya. Beberapa
nama tempat dan nama orang ada yang sengaja kusamarkan, untuk tidak
merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat dan orang yang
bersangkutan.
Semua, akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya
bahasa. Entah gaya apa, pokoknya kalau dia bicara, bahasa Indonesianya
cenderung agak Melayu dan nyaris seperti baku. Kedengernya sedikit
tidaklazim, seperti bahasa Melayu Lama yang biasa digunakan oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi, itu bukan hal yang penting untuk kita persoalkan, ini cuma caraku saja untuk sekadar bisa mengenang khas dari dirinya
5
Sebelumnya, aku mau cerita dulu di mana posisiku yang sekarang.
Malam ini, aku sedang di ruang kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di
kawasan Jakarta Pusat yang gerah.
Mari kita mulai, dan inilah ceritanya:
2. SANG PERAMAL
1
Pagi itu, di Bandung, pada bulan September tahun 1990, setelah
turun dari angkot, aku berjalan bersama yang lain untuk menuju ke
sekolah.
Sebagian ada yang jalan berkelompok, sedangkan aku berjalan sendirian,
menembus kabut tipis bersama udaranya yang dingin. Cahaya matahari yang
menerobos dedaunan, membuat bercakan cahaya di jalan aspal yang sedang
aku lalui.
Saat itulah aku mendengar suara sepeda motor yang datang dari arah
belakang. Suara knalpotnya sedikit agak berisik, lalu kutengok sebentar,
pengendaranya memakai seragam SMA, kemudian aku mencoba untuk tidak
fokus pada itu.
Langsung bisa kusadari ketika sepeda motor itu mulai sejajar denganku,
jalannya diperlambat, seperti sengaja agar bisa menyamai kecepatanku
berjalan. Serta merta aku merasa berada dalam situasi yang tidak nyaman,
bahkan aku gak tahu apa yang harus kulakukan selain terus berjalan. Aku
gak tahu apa yang dia inginkan. Aku hanya berpikir dia adalah salah
satu dari anak nakal di dunia, yang suka menggoda perempuan di jalan.
Pikiranku mengembara. Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi
sekolah, aku merasa harus tetap waspada, khawatir barangkali dia mau
berbuat buruk kepadaku.
Aku benar-benar tidak pernah berpikir bahwa diaakan menyapaku kemudian:
“Selamat pagi,” katanya
Sebenarnya
aku bingung bagaimana harus memahami situasi macam itu. Aku mencoba
menyembunyikan diriku yang gugup. Kulihat wajahnya sebentar, dia
tersenyum. Aku menjawab sambil mendorong helaian rambutku ke belakang
telinga: “Pagi,”
“Kamu Milea, ya?”, tanya dia kemudian, mencoba membuat percakapan
“Eh?” Aku tersentak. Kutoleh lagi dirinya, memastikanbarangkali aku kenal, nyatanya tidak. Dia menatapku dan tersenyum.
“Iya.”
Alasan utamaku menjawab adalah sekadar untuk bisa bersikap ramah
“Boleh gak aku ramal?” dia nanya lagi
“Ramal?”
Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Apa maksudnya? Kok, meramal? Kok, bukan kenalan? Aku tidak mengerti.
“Iya,” katanya. “Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin.”
Dia
pasti ngajak bercanda, tapi aku gak mau. Maksudku, aku tidak mau
bercanda dengan orang yang belum kukenal. Asli, aku gak tahu siapa dia.
Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum
mengenal semua siswa yang ada di sekolahku, termasuk dirinya. Harap
maklum, aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
“Mau ikut?” dia nanya.
Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Bagaimana bisa begitu mudah baginya? Aku tidak bisa mengerti!
“Makasih,” jawabku tanpa menoleh kepadanya.
“Oke,” katanya. “Suatu hari, kamu akan naik motorku. Percayalah.”
Kupilih diam, karena gak tahu harus gimana.
“Duluan, ya!” katanya kemudian.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”.
Habis itu, dia pergi, memacu motornya.
Kupandang dia yang berlalu. Baju seragamnya berkelebatan, dan rambutnya berantakan diembus oleh angin.
Huh!
2
Di kelas, sebelum pelajaran dimulai, aku cerita ke Rani dan Nandan
(teman sekelasku yang sudah agak akrab denganku) tentang ada seorang
anak SMA bermotor yang tadi bilang mau meramalku.
“Siapa?” tanya Rani.
“Gak kenal,” kujawab bersamaan dengan guru masuk untuk memulai pelajaran.
Waktu jam istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan
untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku
hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, Ketua Murid
kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang
mau dibahas. Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar diasaja yang
beli. Makasih kataku, kemudian dia pergi ke kantin.
Ketika balik lagi, dia membawa beberapa teh kotak. Saat itu, di kelas,
selain ada Nandan, juga ada Rani dan Agus. Hal yang dibahas adalah
tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekretaris, dan
sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku, sih, oke-oke saja.
Bagiku, gampang, lah, itu.
Pada waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi,
lalu masuk ke kelas. Nandan, Rani, dan Agus, tahu siapa dia. Orang itu
namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1,
datang memberi aku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi dia tidak menyebut nama kawannya itu.
Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
"Milea, ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi, aku mau meramal lagi: Besok, kita akan ketemu.”
Habis itu aku langsung bisa tahu siapa gerangan pengirim
surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal.
Nandan nanya ingin tahu surat apa itu, tapi kubilang itu surat biasa saja.
Aku masukkan surat itu ke dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak
Nandan yang banyak bicara tentang ini itu dan lumayan membosankan.
Serius, dari semenjak kudapat surat itu, aku sudah tidak bisa lagi
konsentrasi dengan kata-kata mereka. Entah Nandan ngomong apa.
Pikiranku, entah gimana, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang
Peramal
3
Hari hujan ketika bubar sekolah. Aku dijemput pamanku. Dia itu adik dari
ayahku, mahasiswa Jurusan Arsitektur tingkat akhir di perguruan tinggi
swasta yang ada di Bandung, namanya Fariz. Dia sudah lama di Bandung dan
kos di jalan Ciumbuleuit.
Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinasnya, karena ada sedikit keperluan.
Di jalan pulang, entah gimana, ramalan orang itu yang bilang bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
4
Apa? Besok bertemu? Bukankah besok itu hari Minggu?
Segera aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana mungkin bisa bertemu, kalau tidak di sekolah?
Dari awal, aku sudah tahu dia itu memang tukang ramal amatir! Aslinya
sih hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda perempuan. Huh!
Atau kalau itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus segera tahu bahwa aku ini orangnya selektif.
5
Di hari Minggu, waktu aku sedang nyuci sepatu, aku mendengar bel rumah
berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil Si Bibi untuk
meladeni tamu itu.
Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan Si Bibi. Ayah, ibu, dan
adik bungsuku sedang pergi ke Cijerah untuk acara pernikahan saudara.
Si Bibi bergegas nemui tamu itu, lalu balik kembali menemuiku:
“Tamu,” katanya. “Mau ke Lia.” Lia itu nama panggilanku di rumah.
Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu.
Ya Tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah Sang Peramal.
Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku. Entah gimana, saat itu aku
merasa seperti sedang menjalin kontak batin antara aku dengannya,
membahas apa yang diramalnya benar-benar terjadi, tetapi tidak saling
dikatakan.
“Hei,” kusapa dia.
“Ada undangan,” dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop dan berdiri, di depan pintu.
“Undangan apa?” kupandangi amplop itu dan sedikit agak bingung.
“Bacalah,” katanya. “Tapi nanti.”
“Oke,” kataku memandangnya.
“Bacalah bahasa Arabnya apa, Yan?”
Dia nanya ke Piyan yang saat itu datang bersamanya.
“Apa, ya?” Piyan balik nanya.
“Oh! Iqra,” katanya menjawab pertanyaan sendiri.
“Iqra, Milea!” kata dia lagi kepadaku.
Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
“Aku langsung, ya?” katanya permisi untuk pergi.
“Kok, tahu rumahku?” kutanya.
“Aku juga akan tahu kapan ulang tahunmu.”
“He he he.”
“Aku juga tahu siapa Tuhanmu.”
“Allah,” kujawab sendiri.
“Iya, kan?”
Aku jawab hanya dengan senyum.
“Aku pergi dulu, ya?” kata dia.
“Iya,” kujawab.
“Assalamu ‘alaikum jangan?!” dia nanya.
“Assalamu ‘alaikum,” jawabku.
“Alaikum salam,” katanya.
Aku gak tahu harus bilang apa, selain cuma bisa senyum.
6
Aduh, Tuhan, siapa, sih, dia itu! Tanyaku dalam hati.
Maksudku, selain seorang peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya. Dan, mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
Aku masuk kamar dan senyum sendiri, terutama karena memikirkan soal
ramalannya yang benar. Tapi, kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal
ramalan itu? Atau sengaja? Ah, entahlah.
Aku baca surat undangan darinya itu sambil selonjoran di atas kasur.
Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan
untuk sekolah pada: Hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.”
Semua nama hari di jadwal itu, lengkap disertai dengan tanggal. Aku
senyum. Di dalamnya ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu adalah nama
kepala sekolahku, ditulis sebagai orang yangturut mengundang. Aku
istigfar! Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake
spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa. Aku suka.
Setelah aku baca surat itu, aku tak mengerti mengapa aku langsung merasa
tak ingin pergi dari atas kasurku, aku benar-benar seperti orang yang
sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia itu
sebenarnya.
Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang
atap kamarku. Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan
mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya,
karena aku merasa itu gak perlu dan gak penting!
7
Ah, sial.
Semua hal tentang dirinya hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan
tugas nyuci sepatu. Langsung kusimpan surat itu di dalam laci meja
belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar
mandi, menemui sepatuku.
Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha
kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran
meskipun sesekali.
Aduh, siapa, sih, dia itu? Setahuku, dia satu sekolah denganku, tapi
tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi, aku tidak tahu siapa
namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama kali jumpa
itu? Haruskah aku yang nanya?
Oh, sori, ya, gak mau!
8
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni,
pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta,
dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak
tampan-tampan amat, tapi cukup dan kukira dia baik. Ayahnya seorang
artis film terkenal yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada
ayah-ibuku dan teman-temanku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun suka
bertengkar, tapi selalu bisa diselesaikan dengan baik. Sayangnya habis
itu suka bertengkar lagi. Hampir setiap hari, Beni selalu meneleponku
untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.