Jumat, 13 November 2015

Charon "3600 detik"

Review novel "3600 detk" by Charon

Dari sebuah novel yang cukup terkenal berjudul sama, “3600 Detik” karangan Charon, Nayato is back bitches. I don’t know why but I’m s excited to see this movie. Entah mengapa ketika melihat judul “3600 Detik” di bioskop, saya yang ketika datang tidak ada planning apa-apa untuk nonton apa, saya melihat bahwa terpampang nama “NAYATO” di sebuah poster, dan saya excited. Saya ingin melihat akan seperti apa sebuah novel yang cukup terkenal yang mampu membuat beberapa teman saya menangis hanya dengan membaca akhir dari novel tersebut dan saya hanya penasaran akankah Nayato berhasil menggarap sebuah novel yang sudah terkenal dan sangat digemari oleh banyak orang terutama kalangan remaja. Dan Apakah film ini mampu memuaskan pecinta novel tersebut? Dan Apakah Nayato sudah benar-benar tobat dan apakah film ini menandakan bahwa Nayato benar-benar telah tobat membuat film-film gak penting dan mulai menghasilkan sebuah karya yang layak tonton? We’ll see.“3600 Detik” mengisahkan tentang Sandra (Shae) yang memiliki sebuah hidup layaknya seperti remaja perempuan biasa, Ia memiliki hidup yang cukup baik dan mempunyai hubungan yang begitu dekat dengan sang ayah, namun sayang, lama-kelamaan hidup Sandra berubah menjadi sebuah mimpi buruk bagi dirinya sendiri. Ketika sang Ayah bercerai dengan Ibunya (Wulan Guritno), dan ketika sang Ayah harus dipindah tugaskan keluar negeri dan ketika tidak ada lagi orang yang benar-benar mempedulikan Sandra akibat kesibukan Ibunya dengan pekerjaanya. Sandra berubah menjadi seorang gadis yang tidak peduli dengan dunia, tidak mudah diurus dan berubah menjadi gadis nakal yang seperti tidak punya tujuan hidup. Karena memiliki sebuah kehidupan yang tidak menyenangkan, Ibu Sandra memutuskan untuk pindah untuk mendapatkan sebuah kehidupan yang baru dan berharap agar Sandra mau memaafkan Ibunya. Sandra memulai sekolah barunya. Di sekolah lamanya, ia ditinggalkan oleh teman-temanya, Jadi ia tidak mengharapkan bahwa ia akan mendapatkan teman baru yang akan setia menemaninya karena ia sudah terbiasa sendirian dan sendiri bukanlah hal yang baru bagi Sandra.
Siapa sangka bahwa Sandra ternyata bertemu dengan seorang pria bernama Leon (Stefan William) yang ingin sekali berteman dengan Sandra. Leon dan Sandra memiliki kesamaan, Leon tidak mempunyai teman di sekolahnya, dan hal ini tentu membuat mereka nyambung karena mereka mengalami sebuah masalah yang sama. Hari-hari pertama di sekolah barunya, Sandra sudah melanggar banyak sekali aturan. Sandra bolos sekolah, Ia tidak tampil rapih ketika disekolah dan Ia membawa rokok disekolah dan telat pula. Akhirnya sang guru (Indra Birowo) memutuskan untuk menghukum Sandra sebulan kedepan, bersama Leon. Dan Sandra pun masih tidak mau mematuhinya. Tidak lupa pula bahwa  Sandra memiliki sebuah nilai yang anjlok, berhubung Leon yang selalu meraih rangking teratas, Guru Sandra menugaskan Leon untuk mengajari Sandra agar mendapatkan nilai akademik ynag memuaskan. Tidak disangka bahwa dalam proses pembelajaran Sandra, Sandra menjadi semakin dekat dengan Leon. Dan Leon menjadi seorang pria yang peduli dan untuk pertama kali dari begitu lamanya, Sandra merasa diperhatikan. Hal ini membuat mereka begitu dekat. Namun, kedekatan mereka harus dikejutkan dengan sesuatu yang telah lama Leon simpan yang Sandra tidak ketahui.
Novelnya sendiri membuat saya sungguh bernyawa, walaupun kita bisa menemukan cerita seperti ini di hampir setiap novel bertemakan cinta. Entah mengapa saya melihat bahwa novel “3600 Detik” ini memiliki sebuah hal spesial yang tidak dimiliki oleh novel cinta lainya. Tapi kenapa harus Nayato? Dari sekain banyaknya sutradara mengapa mesti Nayato? Banyak yang mengatakan bahwa filmnya tak seindah dan sesedih novelnya. Blame Nayato for this, he’s the one that ruined the whole thing. Pertama, banyak sekali bloopers. Bloopers everywhere. Jika saja CINEMAGZ mau memperhatikan film ini dan mencari bloopers, butuh satu majalah hanya untuk membahas Bloopers dari film ini. Tidak selebay itu sih. Cuma sangking banyaknya. Pertama, Stefan William is dumb or what, setidaknya jika kamu tidak bisa memainkan sebuah piano tahu lah gimana cara orang memainkanya. Itu seperti hand stretching yang ia lakukan diatas piano, rasanya ingin melempar hape kemuka nya Stefan William. Dan betapa bodohnya lagi tidak ada crew yang menegur nya bahwa cara bermain piano nya painfully wrong. OH. MY. GOD. Dan yang kedua, kita semua tahu bahwa jika kita mengambil foto di Polaroid bahwa butuh waktu yang cukup lama untuk melihat hasil yang baru kita ambil, dan betapa bodohnya di suatu adegan ketika Leon mengambil gambar Sandra ketika ia sedang makan dan Leon bisa langsung melihat walaupun kita penonton sudah lihat jelas-jelas bahwa gambar tersebut berwarna putih polos. Oh. MY. GOD. Part 2. Ketiga, ini memang tidak terlalu obvious namun bagi kita yang memperhatikan mungkin akan terlihat jelas bahwa suatu adegan ketika Ibu Sandra sedang menelepon, well adegan nya sih menelepon tetapi ketika ibunya kaget sih di hapenya sama sekali tidak terlihat bahwa ia sedang menelepon seseorang. OH. MY. GOD. PART 3. Dan yang terakhir betapa menjijikanya melihat bahwa gigi para pemain yang kuning bagaikan tidak menyikat gigi sepuluh tahun. Oh God. That is just disgusting and painful to watch. Saya sih sebenarnya tidak begitu mempersalahkan bloopers di film ini, tetapi kenapa begitu obviosu gitu? Kenapa gak pedulian banget sih? Kenapa harus membuat penonton notice gitu? It’s a shame.
Masalah akting, saya sudah tahu benar kualitas akting Stefan William dan kemampuan aktingnya. Wajah nya jelas membantu Stefan William untuk mendapatkan less-hate. Karena tampangnya yang cute-cute gak jelas membutakan begitu banyak kaum hawa untuk tidak memperdulikan aktingnya yang super kaku dan hanya memandang wajah dari Stefan William. Sebenarnya sih tidak 100% kaku dan kaku banget, Stefan William masih mampu memberikan sebuah akting yang cukup lepas di beberapa adegan. Pendatang baru, Shae juga mampu memberikan sebuah akting yang baik di beberapa adegan terlepas dari suara yang keluar dari mulutnya begitu dibuat-buat dan terkadang aktingnya terlalu berlebihan. Tetapi, saya harus akui bahwa Stefan William dan Shae mampu meyakinkan penonton akan chemistry yang terbangun. They’re so cute together. That is the first thing that I’m not gonna comment and judge. Mereka begitu klop. Saya juga sedikit sedih melihat bahwa Wulan Guritno harus berakting dengan sangat biasa saja, melihat bahwa ia memiliki kemampuan akting yang sungguh baik namun peran nya tidak “mengijinkan” ia untuk tampil baik.
Nayato bisa dibilang telah melakukan segalanya dan mengerahkan segala kemampuanya untuk menggarap sebuah film adaptasi agar paling tidak seindah novelnya dan tidak mengecewakan mereka yang telah membaca novelnya dan menyukainya. Sayangnya, kemampuan Nayato sekali lagi masih dibawah standar. Ia masih belum mampu mengemas “3600 Detik” menjadi sebuah kisah remaja yang menyenangkan dan imut. Memang, beberapa adegan membuat kita tersenyum-senyum, apalagi kita telah melalui waktu-waktu ngeceng lawan jenis, waktu-waktu kita ketika diperhatikan atau kita yang memperhatikan dan waktu dimana kita menyukai seseorang. “3600 Detik” completely all about that. Namun, Nayato tidak men-support semua yang bisa menjadi pegangan untuk membuat “3600 Detik” menjadi lebih “That’s Me!” “Oh my god, that’s so true” dan “Iya banget”. If you know what I mean. “3600 Detik” harus gagal tampil menarik karena begitu banyak kekurangan-kekurangan dari “3600 Detik” yang menurut saya akan membuat pembaca novel nya sendiri kecewa sekali.
Secara keseluruhan, sebuah disgrace bagi novelnya sendiri bahwa ternyata Choran harus menyerahkan dan memberikan tanggung jawab kepada Nayato untuk mengadaptasi novel remaja ini. Sebuah kesalahan yang cukup fatal. Sangat klise dan predictable. “3600 Detik” berjalan begitu cepat bukan karena kita terlalu menikmatinya namun memang hanya seperti film pendek tanpa ada penyelesaian, adegan-adegan pun terasa sangat singkat. Asal lompat sana lompat sini. Konflik yang terlesaikan begitu basi dan norak. Dan twist yang berharap akan membuat orang menangis tersedu-sedu namun malah membuat penonton mengatakan “Kann…” “Ah! Udah tau” “Pasti, udah kuduga”. Well, “3600 Detik” memang sebasi itu. Stefan William yang tampil lebih comfortable bersama Shae dan Shae yang mengerahkan semua kemampuanya walaupun belum maksimal namun entah mengapa ketika mereka berdua berada dalam satu layar mereka begitu klop. Saya mungkin harus memberikan sebuah pujian terhadap soundtrack dari “3600 Detik” yang menurut saya sangat catchy. Saya tidak akan menyarankan agar anda menyaksikan film ini karena film ini a complete waste of time.

0 komentar:

Posting Komentar

 
All your need Blogger Template by Ipietoon Blogger Template